Selasa, 16 Februari 2016

Pustaka >> Ulumul Hadits
Ilmu Hadits Dirayah
Ilmu hadits dirayah adalah bagian dari ilmu hadits yang mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ikhwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain-lain. Definisi ini sesuai dengan makna kata dirayah yang secara bahasa berarti pengetahuan dan pengenalan. Kegunaan ilmu ini tidak lain untuk mengetahui dan menetapkan diterima (maqbul) dan ditolak (mardud)nya suatu hadits.

Ilmu hadits dirayah ini memiliki beberapa cabang yang berkaitan dengan sanad, rawi, dan matan hadits. Cabang-cabang penting yang berkaitan dengan sanad dan rawi, antara lain:

    ’Ilm al-Jarh wa at-Ta`dil adalah ilmu yang membahas hal ikhwal rawi (periwayat) dengan menyoroti kesalehan dan kejelekannya, untuk menentukan periwayatannya dapat diterima atau ditolak. Untuk menunjukkan atau menilai kekuatan periwayatan seseorang digunakan ungkapan-ungkapan seperti:

    => "orang yang paling terpercaya",

    => "orang yang kuat lagi teguh", dan => "orang yang tidak cacat"


Sebaliknya guna memperlihatkan atau menilai kelemahan periwayatan seseorang dipakailah ungkapan-ungkapan seperti:

    => "orang yang perlu diteliti",
    => "orang yang tidak dikenal", dan ==> "orang yang paling dusta".


Berkaitan dengan `Ilm al-Jarh wa at-Ta`dil para `ulama hadits menggunakan istilah-istilah sebagai berikut:

    => Jarh yaitu penolakan seorang ulama hadits terhadap riwayat seorang rawi karena adanya petunjuk mengenai perangai atau riwayatnya yang tercela.

Penyebab jarh menurut rumusan para ulama adalah:

        o al-Bid`ah (menambah-nambahi dalam urusan agama);
        o al-Jahalah (asing/tidak dikenal); dan
        o al-Gholat (kacau/tidak kuat/salah hafalannya)

    => Tajrih adalah identifikasi terhadap seorang rawi dengan berbagai karakter yang melemahkannya atau menyebabkan riwayatnya ditolak;
    => `Adi sebagian pengertiannya adalah seorang muslim yang telah dewasa, berakal, dan tidak fasik;
    => Ta`dil adalah identifikasi terhadap seorang rawi dengan mencari-cari sifat baiknya, sehingga periwayatannya dapat diterima.


    `Ilm Rijal al-Hadits adalah ilmu yang mengkaji keadaan rawi dan perilaku hidup mereka, mulai dari kalangan sahabat, tabi`in, dan tabi`it-tabi`in. Bagian dari ilmu ini adalah `ilm tarikh rijal al-hadits yaitu kajian terhadap periwayat hadits dengan menelusuri tanggai kelahiran, garis keturunan, guru sumber hadits, jumlah hadits yang diriwayatkan dan murid-muridnya;
    `Ilm Thobaqot ar-Ruwat adalah ilmu yang membahas keadaan periwayat berdasarkan pengelompokan tertentu.


Cabang-cabang ilmu dirayah hadits yang berkaitan dengan matan hadits adalah:

    `Ilm Ghorib al-Hadits adalah ilmu yang membahas masalah lafal atau kata yang terdapat dalam matan hadits yang sulit dipahami, baik karena nilai sastranya yang tinggi maupun karena sebab yang lain. `Ulama perintis bidang ini ialah Abu Ubaidah Ma`mar bin Musanna at-Tamimi;
    `Ilm Asbab Wurud al-Hadits adalah ilmu yang membahas latar belakang atau sebab-sebab lahirnya suatu hadits.

Rabu, 10 Februari 2016

Kalimat dalam Bahasa Indonesia

A. Pengertian Kalimat

Sering kali kita mendengar kata ‘kalimat’, lalu apakah sebenarnya kalimat itu? Kalimat merupakan suatu kumpulan beberapa kata yang tersusun sehingga membentuk sesuatu yang bermakna dan dapat dimengerti oleh pendengar maupun pembacanya. Kalimat merupakan bentuk pengungkapan pikiran seseorang dalam mengekspresikan diri serta kehidupannya. Kalimat dapat digunakan sebagai alat komunikasi dan interaksi antara satu individu dengan individu lainnya. Kalimat memiliki pola dan struktur sederhana yaitu subjek dan predikat, serta memilki intonasi dan makna.

B. Jenis-jenis Kalimat

– Kalimat Tunggal

Kalimat yangq hanya mempunyai satu pola kalimat, yaitu hanya memiliki satu subjek dan predikat.

– Kalimat Majemuk

Kalimat dengan ciri memiliki dua pola kalimat atau lebih. Kalimat ini terdiri dari induk dan anak kalimat. Cara membedakan anak kalimat dan induk kalimat yaitu dengan melihat letak konjungsi. Induk kalimat tidak memuat konjungsi didalamnya, konjungsi hanya terdapat pada anak kalimat.

Setiap kalimat majemuk mempunyai kata penghubung/konjungsi yang berbeda, sehingga jenis kalimat tersebut dapat diketahui dengan cara melihat kata penghubung yang digunakannya. Jenis-jenis kalimat majemuk adalah:

1. Kalimat Majemuk Setara
2. Kalimat Majemuk Rapatan
3. Kalimat Majemuk Bertingkat
4. Kalimat Majemuk Campuran

a. Kalimat Majemuk Setara

Pengertian :

Kalimat Majemuk Setara adalah kalimat majemuk yang terdiri atas beberapa kalimat yang setara/sederajat kedudukannya. Kalimat Majemuk Setara adalah penggabungan dari 2 kalimat / lebih dengan menggunakan kata hubung.

Terdiri dari:

1. Kalimat majemuk setara sejalan

Kalimat majemuk setara yang terdiri atas beberapa kalimat tunggal yang bersamaan situasinya.

Contoh: Vani memasak nasi, Merry memasak bubur sedangkan Riyan memasak sayur.

2. Kalimat majemuk setara berlawanan

Kalimat majemuk setara yang terdiri atas beberapa kalimat yang isinya menyatakan situasi yang berlawanan.

Contoh:
Billy anak yang tegar, tetapi tidak dengan adiknya.

3. Kalimat majemuk setara yang menyatakan sebab akibat

Kalimat majemuk setara yang terdiri atas beberapa kalimat tunggal yang isi bagian satu menyatakan sebab akibat dari bagian yang lain

Contoh : Willy sukses menjadi pengusaha rental mobil, karena dorongan dan semangat dari kekasihnya.

b. Kalimat Majemuk Bertingkat

Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat yang terjadi dari beberapa kalimat tunggal yang kedudukannya tidak setara/sederajat.

Jenis-jenisnya:

1. Kalimat majemuk hubungan waktu
Contoh : Yuni sedang pergi, ketika kami datang untuk berkunjung.

2. Kalimat majemuk hubungan syarat
Ditandai dengan : jika, seandainya, asalkan,apabila, andaikan
Contoh : Jika ayah sudah berhasil mengumpulkan uangnya, ayah akan mendaftarkan haji tahun ini.

3. Kalimat majemuk hubungan tujuan
Ditandai dengan : agar, supaya, biar.
Contoh : Pendidikan karakter tersebut bertujuan untuk membangun pribadi mahasiswa agar lebih baik.

4. Kalimat majemuk konsensip
Ditandai dengan : walaupun, meskipun, biarpun, kendatipun, sungguh pun
Contoh : Walaupun rangkingnya turun, Namia berusaha untuk tetap mengejar ketinggalannya.

5. Kalimat majemuk hubungan penyebaban
Ditandai dengan : sebab, karena, oleh karena
Contoh : Aku sengaja tidak datang di acara tersebut, karena aku enggan bertemu dengan dia.

c. Kalimat Majemuk Campuran

Adalah kalimat yang merupakan hubungan antara majemuk setara dan majemuk bertingkat.

Contoh : Namia datang ketika ayah sedang di kantor dan ibu sedang menjenguk tetangga.

C. Unsur Sintaksis Dalam Kalimat

1. Subjek
Fungsi subjek merupakan pokok dalam sebuah kalimat. Pokok kalimat itu dibicarakan atau dijelaskan oleh fungsi sintaksis lain, yaitu predikat.

2. Predikat
Predikat merupakan unsur yang membicarakan atau menjelaskan pokok kalimat atau subjek.

3. Objek
Objek memiliki fungsi yang kehadirannya dituntut oleh verba transitif pengisi predikat dalam kalimat aktif.

4. Pelengkap
Pelengkap adalah unsur kalimat yang berfungsi melengkapi informasi, mengkhususkan objek, dan melengkapi struktur kalimat. Pelengkap (pel.) bentuknya mirip dengan objek karena sama-sama diisi oleh nomina atau frasa nominal dan keduanya berpotensi untuk berada langsung di belakang predikat.

5. Keterangan
Keterangan adalah unsur kalimat yang memberikan keterangan kepada seluruh kalimat. Sebagian besar unsur keterangan merupakan unsur tambahan dalam kalimat. Seperti : waktu, tempat, tujuan, sebab, akibat, dll.

D. Pengertian dan Syarat Kalimat Efektif

Pengertian Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat yang mengungkapkan pikiran atau gagasan yang disampaikan sehingga dapat dipahami dan dimengerti oleh orang lain.

Kalimat efektif syarat-syarat sebagai berikut:
1.secara tepat mewakili pikiran pembicara atau penulisnya.
2.mengemukakan pemahaman yang sama tepatnya antara pikiran pendengar atau pembaca dengan yang dipikirkan pembaca atau penulisnya.

Ciri-Ciri Kalimat Efektif

1.Kesepadanan
Suatu kalimat efektif harus memenuhi unsur gramatikal yaitu unsur subjek (S), predikat (P), objek (O), keterangan (K). Di dalam kalimat efektif harus memiliki keseimbangan dalam pemakaian struktur bahasa.

Contoh:
Budi (S) pergi (P) ke kampus (KT).

Tidak Menjamakkan Subjek
Contoh:
Tomi pergi ke kampus, kemudian Tomi pergi ke perpustakaan (tidak efektif)
Tomi pergi ke kampus, kemudian ke perpustakaan (efektif)

2.Kecermatan Dalam Pemilihan dan Penggunaan Kata
Dalam membuat kalimat efektif jangan sampai menjadi kalimat yang ambigu (menimbulkan tafsiran ganda).

Contoh:
Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu mendapatkan hadiah (ambigu dan tidak efektif).
Mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi yang terkenal itu mendapatkan hadiah (efektif).

3.Kehematan
Kehematan dalam kalimat efektif maksudnya adalah hemat dalam mempergunakan kata, frasa, atau bentuk lain yang dianggap tidak perlu, tetapi tidak menyalahi kaidah tata bahasa. Hal ini dikarenakan, penggunaan kata yang berlebih akan mengaburkan maksud kalimat. Untuk itu, ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan untuk dapat melakukan penghematan, yaitu:
a. Menghilangkan pengulangan subjek.
b. Menghindarkan pemakaian superordinat pada hiponimi kata.
c. Menghindarkan kesinoniman dalam satu kalimat.
d. Tidak menjamakkan kata-kata yang berbentuk jamak.

Contoh:
Karena ia tidak diajak, dia tidak ikut belajar bersama di rumahku. (tidak efektif)
Karena tidak diajak, dia tidak ikut belajar bersama di rumahku. (efektif)

Dia sudah menunggumu sejak dari pagi. (tidak efektif)
Dia sudah menunggumu sejak pagi. (efektif)

4.Kelogisan
Kelogisan ialah bahwa ide kalimat itu dapat dengan mudah dipahami dan penulisannya sesuai dengan ejaan yang berlaku. Hubungan unsur-unsur dalam kalimat harus memiliki hubungan yang logis/masuk akal.

Contoh:
Untuk mempersingkat waktu, kami teruskan acara ini. (tidak efektif)
Untuk menghemat waktu, kami teruskan acara ini. (efektif)

5.Kesatuan atau Kepaduan
Kesatuan atau kepaduan di sini maksudnya adalah kepaduan pernyataan dalam kalimat itu, sehingga informasi yang disampaikannya tidak terpecah-pecah. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menciptakan kepaduan kalimat, yaitu:
a. Kalimat yang padu tidak bertele-tele dan tidak mencerminkan cara berpikir yang tidak simetris.
b. Kalimat yang padu mempergunakan pola aspek + agen + verbal secara tertib dalam kalimat-kalimat yang berpredikat pasif persona.
c. Kalimat yang padu tidak perlu menyisipkan sebuah kata seperti daripada atau tentang antara predikat kata kerja dan objek penderita.

Contoh:
Kita harus dapat mengembalikan kepada kepribadian kita orang-orang kota yang telah terlanjur meninggalkan rasa kemanusiaan itu. (tidak efektif)
Kita harus mengembalikan kepribadian orang-orang kota yang sudah meninggalkan rasa kemanusiaan. (efektif)

Makalah ini membahas tentang teknologi fiber optik. (tidak efektif)
Makalah ini membahas teknologi fiber optik. (efektif)

6.Keparalelan atau Kesajajaran
Keparalelan atau kesejajaran adalah kesamaan bentuk kata atau imbuhan yang digunakan dalam kalimat itu. Jika pertama menggunakan verba, bentuk kedua juga menggunakan verba. Jika kalimat pertama menggunakan kata kerja berimbuhan me-, maka kalimat berikutnya harus menggunakan kata kerja berimbuhan me- juga.

Contoh:
Kakak menolong anak itu dengan dipapahnya ke pinggir jalan. (tidak efektif)
Kakak menolong anak itu dengan memapahnya ke pinggir jalan. (efektif)
Anak itu ditolong kakak dengan dipapahnya ke pinggir jalan. (efektif)
CHarga sembako dibekukan atau kenaikan secara luwes. (tidak efektif)
Harga sembako dibekukan atau dinaikkan secara luwes. (efektif)

7.Ketegasan
Ketegasan atau penekanan ialah suatu perlakuan penonjolan terhadap ide pokok dari kalimat. Untuk membentuk penekanan dalam suatu kalimat, ada beberapa cara, yaitu:

a. Meletakkan kata yang ditonjolkan itu di depan kalimat (di awal kalimat).
Contoh:
Harapan kami adalah agar soal ini dapat kita bicarakan lagi pada kesempatan lain.
Pada kesempatan lain, kami berharap kita dapat membicarakan lagi soal ini. (ketegasan)

Presiden mengharapkan agar rakyat membangun bangsa dan negara ini dengan kemampuan yang ada pada dirinya.
Harapan presiden ialah agar rakyat membangun bangsa dan negaranya. (ketegasan)

b. Membuat urutan kata yang bertahap.
Contoh:
Bukan seribu, sejuta, atau seratus, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada anak-anak terlantar. (salah)
Bukan seratus, seribu, atau sejuta, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada anak-anak terlantar. (benar)

c. Melakukan pengulangan kata (repetisi).
Contoh:
Cerita itu begitu menarik, cerita itu sangat mengharukan.

d. Melakukan pertentangan terhadap ide yang ditonjolkan.
Contoh:
Anak itu bodoh, tetapi pintar.

e. Mempergunakan partikel penekanan (penegasan), seperti: partikel –lah, -pun, dan –kah.
Contoh:
Dapatkah mereka mengerti maksud perkataanku?
Dialah yang harus bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas ini.

Daftar Pustaka

http://adlanfadhillah.blogspot.com/2013/10/pengertian-kalimat-dan-jenisnya.html (26-10-2014 8:35)
http://abcdanis.blogspot.com/2013/05/pengertian-dan-contoh-kalimat-majemuk.html (26-10-2014 8:37)
http://berbahasa-bersastra.blogspot.com/2012/01/unsur-dan-ciri-kalimat-efektif.html (26-10-2014 8:40)
http://dim24.wordpress.com/2010/11/07/pengertian-dan-syarat-kalimat-efektif/ (26-10-2014 8:41)

Jumat, 05 Februari 2016

Hawalah (PENGALIHAN HUTANG DALAM HUKUM ISLAM)
A. DEFINISI Hawalah
Secara bahasa pengalihan utang dalam hukum islam disebut sebagai hiwalah yang memiliki arti lain yaitu Al-intiqal dan Al-tahwil, artinya adalah memindahkan dan mengalihkan.
Penjelasan yang dimaksud adalah mentransfer utang dari tanggungan muhil (orang yang berhutang) menjadi tanggungan muhal'alaih (orang yang melakukan pembayaran utang).
محل إلى محل من النقل: لغة
Sedangkan pengertian Hiwalah secara istilah, para Ulama 'berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah
الملتزمدمة إلى المديون دمة من لبة المطا نقل
"Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula".
 Al-Jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
دمةإلى دمة من الدين نقل
"Transfer utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain".
 Syihab al-din al-Qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
دمة إلى دمة من دين انتقال يقتضى عقد
"Akad yang mengatur transfer beban utang dari seseorang kepada yang lain".
 Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
Akad yang mengatur transfer utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
 Ibrahim al-bajuri berpendapat bahwa Hiwalah adalah:
Transfer kewajiban dari beban yang mentransfer menjadi beban yang menerima transfer.
 Menurut Taqiyuddin, yang dimaksud Hiwalah adalah:
Transfer utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain.
 Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan Hawalah adalah transfer dari tanggungan muhil menjadi tanggunggan muhal alaih.
 Idris Ahmad, Hiwalah adalah seperti akad (ijab qobul) transfer utang dari tanggungan seseorang yang berutang kepada orang lain, dimana orang lain itu memiliki utang pula kepada yang memindahkan.

B. DASAR HUKUM Hawalah
Hiwalah dibolehkan berdasarkan Sunnah dan Ijma:
1. Hadits
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairoh, bahwa Rasulullah saw, bersabda:
 Memperlambat pembayaran hukum yang dilakukan oleh orang kaya adalah perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah ia beralih (diterima pengalihan tersebut). (HR Jamaah)
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkecukupan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan harus ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Kebanyakan pengikut mazhab Hambali, Ibnu Jarir, Abu Tsur dan Az lahiriyah berpendapat: bahwa hukumnya wajib bagi yang menghutangkan (da'in) menerima hiwalah, dalam rangka mengamalkan perintah ini. Sedangkan jumhur ulama berpendapat: perintah itu bersifat sunnah.
2. Ijma
Para ulama sepakat memungkinkan Hawalah. Hawalah dibolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang / benda, karena Hawalah adalah perpindahan utang, oleh sebab itu harus pada utang atau kewajiban finansial.

C. RUKUN Hawalah
Menurut mazhab Hanafi, rukun hiwalah hanya ijab (pernyataan melakukan hiwalah) dari pihak pertama, dan qabul (penyataan menerima hiwalah) dari pihak kedua dan pihak ketiga.
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i dan Hambali rukun hiwalah ada enam yaitu:
Pihak pertama, muhil (المحيل):
Yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang,
Pihak kedua, muhal atau muhtal (المحتال و االمحال):
Yakni orang berpiutang kepada muhil.
Pihak ketiga muhal 'alaih (عليه المحال):
Yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar utang kepada muhtal.
 Ada utang pihak pertama pada pihak kedua, muhal bih (به المحال):
Yakni hutang muhil kepada muhtal.
 Ada hutang pihak ketiga kepada pihak pertama
Utang muhal alaih kepada muhil.
 Ada sighoh (pernyataan hiwalah).

D. PERSYARATAN Hawalah
Persyaratan Hawalah ini terkait dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih.
 Persyaratan yang terkait dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum bisa dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena Hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Selain itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad Hawalah.
Persyaratan yang terkait dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil. Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia bersedia menerima akad Hawalah.
Persyaratan yang terkait dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena tidak bisa dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad Hawalah dalam acara atau di luar acara.
Persyaratan yang terkait dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, utang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa utang tersebut hanya bisa dihilangkan dengan pelunasan atau penghapusan [5].
E. JENIS-JENIS Hawalah
Ada dua jenis Hawalah yaitu Hawalah muthlaqoh dan Hawalah Muqoyyadah.
Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang berhutang (orang pertama) kepada orang lain (orang kedua) mengalihkan hak penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berutang kepada orang pertama. Jika A berutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan B ke C, sementara C tidak punya hubungan utang pituang kepada B, maka Hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syiah sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis Hawalah ini sebagai kafalah.
Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya hutang kepada Muhal. Inilah Hawalah yang dapat (jaiz) berdasarkan kesepakatan para ulama.
Ketiga madzhab selain madzhab hanafi berpendapat bahwa hanya memungkinkan Hawalah muqayyadah dan menyariatkan pada Hawalah muqayyadah agar utang muhal kepada muhil dan utang muhal alaih kepada muhil harus sama, baik sifat maupun jumlahnya. Jika sudah sama jenis dan jumlahny, maka sahlah hawalahnya. Tetapi jika salah satunya berbeda, maka Hawalah tidak sah.
Hawalah Haq
Hawalah ini adalah transfer piutang dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia mengalihkan haknya kepada pemberi utang yang lain sedangkan orang yang berutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini terjadi jika piutang A memiliki utang kepada piutang B.
Hawalah dayn
Hawalah ini adalah transfer utang kepada orang lain yang memiliki utang kepadanya. Ini berbeda dari Hawalah Haq. Pada hakekatnya Hawalah dayn sama pengertiannya dengan Hawalah yang telah dijelaskan di depan.
F. HAKIKAT Hawalah
            Kalangan Hanafiah dan Malikiah berpendapat bahwa Hawalah adalah pengecualian dalam transaksi jual beli, yakni menjual utang dengan utang. Hal ini karena manusia sangat membutuhkannya. Hal ini juga merupakan pendapat yang paling dianggap sahih di kalangan Syafiiah dan juga menurut salah satu riwayat di kalangan Hanabilah. Dasarnya adalah Hadist yang artinya: jika salah seorang dari kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, maka terimalah (HR.Bukhari dan Muslim)
            Yang sahih menurut Hanabilah bahwa Hawalah adalah murni transaksi irfaq (bermanfaat) bukan yang lainnya.
Ibnu al-Qayyim berkata, Kaidah-kaidah syara mendukung dibolehkannya Hawalah, dan ini sesuai dengan qiyas


G. UNSUR kerelaan DALAM Hawalah
1. Kerelaan Muhal
Mayoritas ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafiiah berpendapat bahwa kerelaan muhal (orang yang menerima transfer) adalah hal yang wajib dalam Hawalah karena utang yang ditransfer adalah haknya, maka tidak dapat dipindahkan dari tanggungan satu orang ke yang lainnya tanpa kerelaannya. Demikian ini karena solusi tanggungan itu berbeda-beda, bisa mudah, sulit, cepat dan tertunda-tunda.
Hanabilah berpendapat bahwa jika muhal alaih (orang yang berhutang kepada muhil) itu mampu membayar tanpa menunda-nunda dan tidak membangkang, muhal (orang yang menerima transfer) wajib menerima transfer itu dan tidak diisyaratkan adanya kerelaan darinya. Mereka mendasarkan hal ini kepada hadist yang telah diseutkan di atas.
Alasan mayoritas ulama tentang tidak adanya kewajibanmuhal (orang yang menerima transfer) untuk menerima Hawalah adalah karena muhal alaih kondisinya berbeda-beda ada yang mudah membayar dan ada yang menunda-nunda pembayaran. Dengan demikian, jika muhal alaih mudah dan cepat membayar hutangnya, dapat dikatakan bahwa muhal wajib menerima Hawalah. Namun jika muhal alaih termasuk orang yang sulit dan suka menunda-nunda memayar hutangnya, semua ulama berpendapat muhal tidak wajib menerima Hawalah.
2. Kerelaan Muhal Alaih
Mayoritas ulama Malikiah, Syafiiah dan Hanabilah berpendapat bahwa tidak ada syarat kerelaan muhal alaih, ini berdasarkan hadist yang artinya: jika alah seorang diantara kamu sekalian dipindahkan hutangnya kepada orang kaya, ikutilah (terimalah). (HR.Bukhari dan Muslim). Selain itu, hak ada pada muhil dan ia bisa menerimanya sendiri atau mewakilkan kepada orang lain.
Hanafiah berpendapat bahwa diisyaratkan adanya kerelaan muhal alaih karena setiap orang memiliki sikap yang berbeda dalam menyelesaikan urusan utang piutangnya, maka ia tidak wajib dengan sesuatu yang bukan menjadi kewajibannya.
Pendapat yang rajih (valid) adalah tidak disyaratkan adanya kerelaan muhal alaih. Dan muhal alaih akan membayar hutangnya dengan jumlah yang sama kepada siapa saja dari keduanya.




H. BEBAN MUHIL SETELAH Hawalah
Ketika Hawalah arah sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal alaih mengalami kebangkrutan atau membantah Hawalah atau meninggal dunia, maka muhal tidak bisa kemali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut madzhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal, ternyata muhal alaih orang fakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka muhal bisa kembali lagi kepada muhil. Menurut imam Malik, orang yang menghawalahkan utang kepada orang lain, kemudian muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka muhal tidak dapat kembali kepada muhil.
Abu Hanifah, Syarih dan Ustman berpendapat bahwa dalam kondisi muhal alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, maka orang yang menghutangkan (muhal) kembali lagi ke muhil untuk menagihnya.
I. PERINGKAT HUKUM Hawalah
Pertama, jika Hawalah telah disetujui oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari kecanduan utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya akad Hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan ke Muhal alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.
J. BERAKHIRNYA AKAD Hawalah
Akad Hawalah akan berakhir oleh hal-hal berikut ini.
Karena dibatalkan atau fasakh. Ini terjadi jika akad Hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan akhir lalu difasakh. Dalam kondisi ini hak penagihan dari Muhal akan kembali lagi kepada Muhil.
Hilangnya hak Muhal Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad Hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
Jika Muhal alaih telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad Hawalah benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
Meninggalnya Muhal sementara Muhal alaih mewarisi harta Hawalah karena pewarisan merupakah salah satu sebab kepemilikan. Jika akad ini Hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah sudah akad Hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
Jika Muhal menghibahkan atau menyedekahkan harta Hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
Jika Muhal menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.

Sabtu, 14 November 2015

Makalah nasikh dan mansukh

MAKALAH nasikh dan mansukh
Bagikan:
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
1.1 Latarbelakang 1
1,2 RumusanMasalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB II

2.1 DefinisiNasikhdanMansukh 3
2.2 Syarat, Macam Nasikh dan Mansukh 4
2.3 Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam naskh dalam AL-Qur'an 5
2.4 Kemungkinan Terjadinya Nasikh dan Mansukh 10
2,5 Cara Mengetahui Nasikh Mansukh dan Contohnya 11
2.6 Ruang Lingkup naskh 12
2,7 HikmahAdanyaNaskh 13
BAB III
Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA 15

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang
Dari awal sampai akhir, al-Qur'an merupakan kesatuan utuh. Tak ada pertentangan satu dengan lainnya. Masing-masing saling menjelaskan al-Qur'an yufassir-u ba'dhuhu ba'dha. Dari segi kejelasan, ada empat tingkat pengertian. Pertama, cukup jelas bagi setiap orang. Kedua, cukup jelas bagi yang bisa berbahasa Arab. Ketiga, cukup jelas bagi ulama / para ahli, dan keempat, hanya Allah yang tahu maksudnya.
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitabyang sudah memiliki kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang senantiasa harus menjadi landasan pengertian dan pedoman pengembangan berbagai pengertian, sejalan dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum -hubungan antara ketentuan hukum yang hendak ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun hukum lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang memiliki unsur historis cukup nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberikan tempat yang cukup tinggi terhadap pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah, kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.

1,2 RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apadefinisidarinasikhdanmansukh?
2. Apasajasyaratdanmacam-macamnasikhdanmansukh?
3. Apasaja yang kemungkinanterjadinyanasikhdanmansukh?
4. Bagaimanaruanglingkupnaskh?
5. Apahikmahdarinaskh?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah:
1. Mengetahuidanmemahamidefinisidarinasikhdanmansukh.
2. Mengetahuisyaratdanmacam-macamnasikhdanmansukh.
3. Mengetahuikemungkinanterjadinyanasikhdanmansukh.
4. Mengetahuiruanglingkupnaskh.
5. Mengetahuihikmahdarinaskh.




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DefinisiNasikhdanMansukh
A. Pengertian Nasikh
Dari segi bahasa nasikh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti, mengganti. Adapun menurut istilah dapat dikemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
- Menurut Manna 'Khalil al-Qaththan adalah:
رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي
 "Mengangkat atau menghapus hukum syara 'dengan khithab (dalil) syara' yang lain"
- Menurut Muhammad 'Abd. Adzim al-Zarqaniy:
رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي متأخر
 "Mengangkat / menghapus hukum syara 'dengan dalil syara' yang lain yang datang kemudian". [1]
- Para ulama mutakaddimin memperluas pengertian nasakh sehingga mencakup beberapa hal yaitu: [2]
a. Pembatalan hukum yan ditetapkan sebelumnya oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
b. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
c. Penjelasan hukum yang datang kemudian terhadap hukum yang masih bersifat samara
d. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang bersyarat.
- Para ulama muta'akhirin berpendapat nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir. [3]

B. Pengertian Mansukh
Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفعالحكم [4] yaitu "hukum yang diangkat". Sedangkan secara terminologi adalah hukum syara 'yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara' baru yang datang kemudian.

2.2 Syarat, Macam Nasikh dan Mansukh
Dari kedua definisi diatas, para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa nasakh itu bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut:
a. Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara 'yang mengandung hukum dari Allah dan Rasul-Nya yang disebut nasakh.
b. Yang dibatalkan adalah syara 'yang disebut mansukh (yang dihapus).
c. Nasakh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh.

• Ketentuan nasikh dan mansukh
1. Yang dimansukhkan adalah hukum syara '
2. Dalil yang menghapus hukum syara 'tersebut harus berupa dalil syara' seperti Al-Qur'an, hadist, Ijma 'dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan firman Allah pada surat an-Nisa 'ayat 59.
3. Adanya tenggang waktu antara nasakh dan mansukh dalam satu ayat atau dalil pertama dan kedua datang berurut (gandeng ayat).
Contoh:
ثماتموالصيام bukan merupakan mansukh dari kalimat إلىالليل (yang dianggap nasikh).

Kalau ditemukan ada kalimat antara nasakh dan mansukh dalam satu kalimat yang harus dilihat adalah apakah kalimat tersebut termasuk kalimat berita berarti kalimat tersebut bukanlah nasakh melainkan takhsis.
4. Antara dua dalil nasakh dan mansukh adanya pertentangan nyata, sehingga kedua dalil tersebut tidak bisa dikompromikan.

• Macam-macam nasikh dan mansukh
1. Nasikh Badal (nasakh yang ada penggantinya), terbagi menjadi tiga:
- Nasikh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan)
- Nasikh mumatsil (pengganti serupa)
- Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)
2. Nasikh ghairu Badal (nasikh yang tidak ada gantinya), seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
3. Nasikh hukum dan tilawah (bacaan), kebenaran dan jenis hukumnya telah dihapus, sehingga tidak ada ditemukan lagi dalam al-Qur'an.
4. Nasikh hukum tanpa tilawah artinya teks ayat masih ada hanya hukumnya saja yang diganti.
5. Nasikh tilawah tanpa hukum, maksudnya hukumnya tetap, tapi yang ternasukh hanya tilawahnya. [5]
6. Nasikh hukum dan bacaan ayat sekaligus seperti haramnya menikahi saudara sesusu itu dengan batasan sepuluh kali (HR Bukhori dan Muslim dari Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
7. Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama, menurut ulama Hanafiyah, hukum penambahan tersebut bersifat nasakh.
8. Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyari'atkan menurut kesepakatan ulama 'dikatakan nasakh tetapi mereka tidak memberikan contohnya.

Menurut jenisnya nasikh dan mansukh dibagi menjadi:
1. Nasikh al-Qur'an dengan al-Qur'an, nasakh ini telah disepakati oleh jumhur ulama. Contoh nasakh ini banyak sekali seperti surat al-Mujadilah ayat: 12 dinasakh oleh surat al-Mujadilah ayat 13.
2. Nasikh al-Qur'an dengan sunnah, ada dua macam:
a. Nasikh al-Qur'an dengan hadits ahad, jumhur tidak memungkinkan hal ini karena al-Qur'an mutawattir dan hadits ahad mengandung dzanni.
b. Nasikh al-Qur'an dengan hadits mutawattir, hal ini dibolehkan oleh sebagian ulama, karena al-Qur'an dan sunnah mutawattir sama-sama wahyu.
3. Nasikh sunnah dengan al-Qura'an
Nasikh ini disepakati dan dibolehkan oleh jumhur ulama 'misalnya seperti berpuasa pada hari asyuro yang ditetapkan berdasarkan sunnah yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim dari Aisyah ra
4. Nasikh sunnah dengan sunnah, terbagi menjadi 4:
a. Nasikh mutawattir dengan mutawattir.
b. Nasikh ahad dengan ahad.
c. Nasakh ahad dengan mutawattir.
d. Nasikh mutawattir dengan ahad.
Tiga bagian pertama dibolehkan, adapun yang ke empat ada khilaf, tetapi jumhur tidak memungkinkan hal ini. [6]

2.3 Bentuk-Bentuk dan Macam-Macam naskh dalam AL-Qur'an
Berdasarkan kejelasan dan cakupanya, naskh dalam Al-Qur'an dibai menjadi empat macam yaitu:
1. naskh sharih, yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang ada pada ayat yang terdahulu. Misal ayat tentang perng (qital) pada ayat 65 surat Al-Anfal (8) yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh orang kafir:
يا يها النبي حرض المؤمنين على القتال ان يكن منكم عشرون صا برون يخلبوا مائتين وان يكن منكم مائة يخلبوا الفا من الذين كفروا با نهم قوم لايفقهو. (الانفال:)
Artinya:
"Hai Nabi, korbankanlah semangat orang mukmin untuk berperang jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab oang-orang kafir adalah kaum-kaum yang tidak mengerti. "(QS.Al-Anfal: 65)

 Dan menurut jumhur ulama 'ayat ini di-naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:
الئن خفف الله عنكم وعلم ان فيكم ضعفا فا ن يكن منكم ما ئة صا برة يغلبوا مائتين وان يكن منكم الف يغلبواالفين باذ ن الله والله مع الصبرين. (الانفال:)
Artinya:
"Sekarang Allah telah meringankankamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan. Maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir, dan jika diantar kamu ada seribu orang (yang sabar), mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang kafir. "(QS.Al-Anfal: 66)
2. naskh dhimmy, yaitu jika ada dua naskh yang saling bertentangan dan tidak dikompromikan, dan keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, serta keduanya diketahui waktu turunya, ayat yang datang kemudian menghapus ayat yang terdahulu. Misalnya, ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati yang terdapat dalam surat Al-Baqarah (2):
كتب عليكم اذاحضراحدكم الموت ان ترك خيراءلوصية للوالدين والااقربين بالمعروف حقاعلى المتقين. (البقرة:)

Artinya:
"Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf."

Ayat ini di-naskh oleh suatu hadist yang memiliki arti tidak ada wasiat bagi ahli waris.
3. naskh kully, yaitu menghapus hukum yang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya, 'iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah (2) 234 di-naskh oleh ketentuan' iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.
4. naskh juz'i, yaitu menghapus hukum umum yang terjadi pada semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu, atau menghapus hukum yang bersifat muthlaq dengan ukum yang muqayyad. Misalnya, hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An-Nur (24) ayat 4, dihapus oleh ketentuan li'an, bersumpah empat kali dengan nama Allah, jika sipenuduh suami yang tertuduh, pada ayat 6 dalam surat yang sama.
Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh menjadi tiga macam yaitu:
1. Penghapusan terhadap hukum (hukm) dan bacaan (tilawah) secara bersamaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak diperbolehkan dibaca dan diamalkan. Misal sebuah riwayat Al Bukhori Muslim yaitu hadis Aisyah RA
كان فيما أنزل من القران عشر رضعات معلومات فتو فيرسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القران
Artinya:
"Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat Al-qur'an) adalah sepuluh radaha'at (isapan menyusu) yang diketahui, kemudian di naskh oleh lima (isapan menyusu) yang diketahui. Setelah Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian Al-qur'an. "

2. Penghapusan terhadap hukumnya saja sedangkan bacaanya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah (QS.Mujadilah: 12)
يايهاالذين امنوا اذا ناجيتم الرسول فقد موابين يدي نجوكم صدقة ذ لك خيرلكمواطهر فان لم تجدوا فان الله غفوررحيم. (المجادلة:)
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang "(QS.Mujadilah: 12).

Ayat ini di naskh oleh surat yang sama ayat 13:
ءاشفقتم ان تقدموا بين يدي نجو كم صدقت فاذلمتفعلواوتاب الله عليكم فاقيمواالصلوة واتواالزكوة واطيعواالله ورسوله والله خبيربما تعملون.
 (المجادلة:)
Artinya:
"Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tidak memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. "(QS.Al-Mujadilah: 13)
3. Penghapusan terhadap bacaan saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh kategori ini biasanya diambil dari yat rajam. Mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat Al-Qur'an. Ayat yang dinyatakan mansukh bacaanya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
أذازناالشيخ والشيخة فارجموهما
Artinya:
"Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya".

Cerita tentang ayat orang tua berzina diataas diturunkan berdsarkan riwayat Ubay bin Ka'ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan suara yang bernada tentang ayat yang dianggap bacaanya mansukh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
الشيخ والشيخة فارجموهما البتة بماقضيا من الذة.
Artinya:
"Seorang pria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina)."

2.4 Kemungkinan Terjadinya Nasikh dan Mansukh
Pendapat para jumhur ulama tentang kemungkinan terjadinya nasakh dan mansukh.
1. Secara akal dan pandangan mungkin terjadi
Pendapat ini merupakan ijma 'kaum muslimin / jumhur ulama tidak ada perselisihan diantara para ulama tentang diperbolehkannya nasakh al-Qur'an dengan hadits.
Dalil mereka surat al-Baqarah ayat 106 yang artinya: "apa saja ayat kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya". (QS Al-Baqarah: 106). Dan An-Nahl ayat 101 yang artinya: "dan ketika kami letakkan suatu ayat yang lain sebagai penggantinya, padahal Allah lebih mengetahui yang diturunkannya". (QS An-Nahl: 101).
2. Secara akal maupun pandangan tidak mungkin terjadi
Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar datang dari kaum nasrani masa sekarang yang menyerang islam dengan dalih bahwa nasakh itu tidak memiliki hikmah dan tidak beralasan, bahkan hal nasakh akan diketahui setelah kejadian itu sudah terjadi (sebelumnya tidak diketahui).
Tidak benar kalau mereka (yahudi dan nasrani) mengatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan Allah adalah sia-sia dengan kata lain tidak beralasan. Hal tesebut berlawanan dengan sifat Allah SWT, Allahlah yang mengetahui semua.
3. Secara akal mungkin namun secara pandangan tidak mungkin terjadi.
Pendapat ini merupakan pendapat golongan Inaniyah dari kaum yahudi dan pendirian Abu Muslim Ashifani. Mereka mengetahui terjadinya nasakh menurut logika, tetapi mereka mengatakan nasakh dilarang dalam Syara 'Abu Muslim Al-Asyifani dan orang-orang yang setuju dengan pendapatnya menggunakan dalil Al-Qur'an surat Al-Fushilat ayat 42 yang artinya: "yang datang kepadanya (al -Qur'an) kebathilan baik dari depan maupun belakang ".

2,5 Cara Mengetahui Nasikh Mansukh dan Contohnya:
Nasikh dapat diketahui melalui beberapa hal berikut:
1. Ditetapkan dengan tegas oleh Rasulullah SAW, seperti hadits;
نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزورها
"Semula aku melarangmu untuk berziarah ke kubur, tapi (sekarang) berziarahlah".
2. Melalui pemberitahuan seorang sahabat, seperti hadits Jabir bin Abdullah ra ia berkata:
كان اخر الامرين من رسول الله ص.م. ترك الوضوء مما مست النأر
"Dua perintah terakhir Rasulullah SAW adalah tidak perlu berwudhu karena memakan makanan yang tersentuh api". (HR.Abu Dawud dan al Nasa'i)
3. Melalui fakta sejarah, seperti hadits Syidad bin 'Aus dan lainnya yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
أفطر الحاجم والمحجوم
"Orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam batal puasanya".

Dan hadits Ibnu Abbas ra ia berkata:
عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه احتجم وهو صائم
"Sesungguhnya Rasulullah SAW berbekam, padahal beliau sedang berpuasa".

Dengan demikian, jelas bahwa hadits yang pertama (hadits Syidad) itu terjadi pada masa-masa penaklukan kota Makkah, yaitu pada tahun 8 Hijriyah dan hadits kedua (hadits Ibnu Abbas) terjadi pada waktu Haji Wada ', yaitu pada tahun 10 Hijriyah. Jadi, hadits yang kedua adalah Nasikh bagi hadits yang pertama.  

2.6 Ruang Lingkup naskh
Imam Suyutti mengatakan; Bahwa naskh hanya terjadi pada perintah (amr), dan larangan (nahyi), baik yang diungkap dengan redaksi sharikh (tegas) atau yang tidak tegas, Atau yang diungkap dengan kalimat berita (kabar), yang berarti amr (perintah), atau yang berarti nahy (larangan).
Dan persoalan tersebut di atas, tidak berhubungan dengan persoalan, akidah, baik tentang Dzat Allah dan sifat-sifatNya, Kitab-kitabNya, Rasul-Nya, hari kiamat, janji dan ancaman, dan tidak bertentangan etika dan akhlaq, serta ibadah dan mua'malah , karena syari'at
شرع لكم من الدين ماوصى به نوحا والذي أوحينآ إليك وماوصينا به إبراهيموموسى وعيسى أن أقيموا الدين ولاتتفرقوا فيه.
Artinya:
"Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. As-Syuraa: 13)

2,7 Hikmah Adanya naskh
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur'an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur'an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur'an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, (7) khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi mengatakan, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu awalnya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan, terhadap, perorangan, dan, bangsa-bangsa, dengan, sama. Jikaengkau melayangkan pandanganmu ke alam yang hidup ini, engkau pastikan mengetahui bahwa naskh (penghapusan) adalah hukum alam yang berlaku, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, kemudian tumbuh menjadi remaja, dewasa, kemudian orang tua dan seterusnya. Syari'at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari'at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang damai, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
- Dari segi bahasa nasikh bisa diartikan sebagai menghilangkan, pembatalan, menghapus, mengganti, mengganti.
- Secara etimologi dapat diartikan dengan yang dihapus, dinukil, disalin, selain itu ada juga yang mengartikan المرتفعالحكم [4] yaitu "hukum yang diangkat". Sedangkan secara terminologi adalah hukum syara 'yang pertama yang belum diubah, dan dibatalkan atau diganti dengan oleh hukum dari dalil syara' baru yang datang kemudian.



















DAFTAR PUSTAKA

http://itarizki.blogspot.com/2011/04/style-definitions-table_2%203.html (Diakses 28 September 2014: 14.15)
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al Qur'an; Kritik Terhadap Ulumul Qur'an, Jogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, cet 4 2005
Al Qattan, Manna 'Khalil, Mabahis fi' Ulumil Qur'an, diterj. Mudzakir, Studi Ilmu-Ilmu Qur'an. Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, cet 14, 2011.
-----, Pengantar studi ilmu Al Qur'an, diterj, H.Aunur Rafiq El Mazni, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, cet 4, 2009
Baidan, Nashruddin, Prof.Dr, wawasan baru ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka pelajar, cet I, 2005.
Nuruddin 'Itr, Ulumul Hadits, Bandung: PT: Remaja Rosdakarya, 2012, hal. 348-349
Imam Al-Subki, Jam 'al-Jawami'. Prodial Pratama Sejati Press. 2007.hal.32.
Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawai'al-BayanAl-Qasimi, Mahasin al-Ta'wil. Diadit Media. 2007.hal. 37.

________________________________________
[1] Muhammad Abd Azhim Al-Zarqany, Manahil al-Irfan fi 'Ulum al-Qur'an, hal. 176
[2] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1992), Hal. 114
[3] Ibid
[4] Manna 'Khalil Qattan, Mahabits fi' Ulumil Qur'an, Maktabah Wahbah, Kairo, Cet. 2004, HAL. 224.
[5] Muhammad Abdul Adzim Az-Zarqani, Op. Cit, Hal 198
[6] Manna 'Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 230
[7] Manna 'Khalil Qattan, Op. Cit, Hal. 226

Tag: Agama Islam
Sebelumnya
Makalah Wajar Al-Qur'an
Next
TAFSIR, ta'wil DAN TERJEMAH